Santa Zélie Martin dan Santo Louis Martin adalah pasangan suami-istri yang dinyatakan kudus oleh gereja dan di kanonisasi oleh Paus Fransiskus pada tanggal 18 Oktober 2015. Mereka tidak dinyatakan kudus karena St.Theresia dari kanak-kanak Yesus, puteri bungsu mereka. Justru St.Theresia bisa menjadi orang kudus karena Louis dan Zélie telah menciptakan suatu lingkungan keluarga yang mampu membawa anak-anaknya kepada kekudusan.
Azélie-Marie Guérin dilahirkan di Saint-Denis-sur-Sarthon, dekat Alençon, Perancis pada tanggal 23 Desember 1831 dari pasangan suami isteri Isidore Guérin dan Louise-Jeanne Macé, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ibunya seorang yang saleh namun sangat keras dalam mendidik kedua puterinya. Dalam sepucuk surat kepada saudaranya, Isidore Guérin, Zélie sendiri menyatakan masa kecil dan masa mudanya “menyedihkan bagai kafan, sebab, jika ibu memanjakanmu, denganku, kau tahu, ia amat keras; ia yang begitu baik tidak mendapati yang benar dalam diriku, sehingga aku menderita sakit hati yang hebat.” Ayahnya seorang yang tegas, namun menunjukkan terlebih banyak kasih dan kelembutan bagi anak-anaknya; ia bahkan rela menjual rumah dan tanah demi pendidikan anak-anaknya.
Ketika Zélie berusia tigabelas tahun, keluarganya pindah ke Alençon. Zélie seorang gadis yang cerdas sekaligus religius; ia menempati peringkat pertama dalam sastra Perancis. Di kemudian hari, surat-surat yang ditulisnya membantu kita mengenal karakternya yang kompleks, pandangannya yang tajam terarah ke surga, energi dan kapasitasnya yang luar biasa dalam menunaikan perannya sebagai seorang isteri, ibu dan wanita karir yang berhasil.
Zélie senantiasa merindukan kehidupan religius seperti kakaknya - Marie Louise yang pada tahun 1858 menggabungkan diri di Biara Visitasi di Le Mans dan menjadi Suster Marie-Dosithée. Tetapi ketika mengajukan permohonan ke Biara Suster-suster Puteri Kasih St Vincentius de Paul, Moeder Superior tanpa ragu mengatakan kepadanya bahwa hidup membiara bukanlah kehendak Allah baginya. Zélie bersedih hati atas penolakan ini, namun dengan optimisme yang mengagumkan ia berseru, “Allah-ku, aku akan masuk dalam hidup perkawinan demi memenuhi kehendak-Mu yang kudus. Sebab itu aku mohon berilah aku anak-anak yang banyak agar mereka dapat dikonsekrasikan bagi-Mu.”
Guna mempersiapkan maharnya, Zélie berpaling kepada Bunda Maria dan bertanya bagaimana ia bisa mendapatkan uang. Pada tanggal 8 Desember 1851, ia menerima jawaban dalam bentuk suara batin yang mengatakan, “Buatlah renda Point d'Alençon.” Zélie mengambil kursus; dengan cepat ia menguasai pembuatan renda dan segera memulai usahanya sendiri. Tokonya terkenal dengan kualitas rendanya.
Suatu hari, Zélie melihat seorang pemuda berwajah tenang menyeberangi Jembatan Saint Léonard. Zélie memperhatikan pemuda yang lewat ini, yang amat mengesankan hatinya. Lagi, terdengar suara batin yang mengatakan, “Dialah yang telah Aku persiapkan bagimu.” Segera ia mendapat tahu bahwa nama pemuda itu adalah Louis Martin. Keduanya kemudian saling berkenalan dan saling jatuh cinta. Tiga bulan kemudian, pada tanggal 12 Juli 1858 pukul 22.00 mereka melangsungkan perkawinan sipil dan dua jam kemudian, pada tanggal 13 Juli, mereka saling menerimakan Sakramen Perkawinan di Gereja Santa Perawan Maria dengan dipimpin Pastor Hurel. Cinta kasih suami isteri dapat kita baca dalam surat-surat mereka. Dalam salah satu surat-suratnya, yang praktis merupakan suatu sintesa dari kasih perkawinan, Louis menandatangani suratnya sebagai berikut: “Suamimu dan sahabatmu yang sejati, yang mengasihimu seumur hidup.” Zélie menanggapinya dengan: “Aku menyertaimu dalam roh sepanjang hari; aku katakan kepada diriku sendiri: Ia sedang melakukan ini dan ini pada saat ini. Aku tak dapat sabar untuk segera bersamamu, Louisku terkasih; aku mengasihimu dengan segenap hatiku, dan aku dapat merasakan betapa kasihku berlipat ganda dengan ketidakhadiranmu; mustahil bagiku untuk hidup jauh darimu.”
Pasangan baru ini tinggal di belakang toko Louis yang besar. Zélie meminta Louis untuk membawa patung Santa Perawan dari taman Pavilion ke rumah mereka. Patung ini menjadi pusat devosi keluarga. Patung ini jugalah yang di kemudian hari tersenyum kepada St Theresia sementara ia sakit parah, sehingga sesudahnya dikenal sebagai “Santa Perawan Tersenyum”.
Walau sudah menikah namun Louis dan Zélie tetap merindukan kehidupan religius. Mereka saling berjanji untuk hidup sebagai saudara dan saudari, seturut teladan St.Yosef dan Santa Perawan Maria. Sepuluh bulan lamanya mereka berdua hidup selibat dalam pantang total. Melalui campur tangan yang bijak dari bapa pengakuan dan didorong kerinduan untuk mempersembahkan anak-anak kepada Tuhan, pada akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri pantangan mereka.
“Kedua orangtua kami menaruh perhatian yang sangat besar pada keselamatan jiwa-jiwa… tetapi karya apostolik yang terbaik yang kami tahu adalah Propaganda Iman yang untuknya, setiap tahun, orangtua kami memberikan sumbangan yang besar. Adalah semangat yang sama bagi jiwa-jiwa ini yang membuat mereka begitu sangat merindukan seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi seorang misionaris dan anak perempuan yang akan menjadi biarawati” (Positio, Vol.II, h.972).
Louis amat bahagia ketika anaknya yang sulung - Marie Louise - dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1860. Louis dan Zélie telah memutuskan untuk memberikan nama Marie pada semua anak mereka demi menghormati Santa Perawan Maria. Anak sulung mereka dikenal dengan nama ini sepanjang hidupnya.
Pada tanggal 8 Desember, pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, tahun yang sama, Zélie memohon anugerah anak yang kedua kepada Santa Perawan. Doanya dikabulkan dan pada tanggal 7 September 1861 Marie Pauline dilahirkan. Selanjutnya, pada tanggal 3 Juni 1863, lahir Marie Léonie dan pada tanggal 13 Oktober 1864 lahir Marie Hélène.
Secara istimewa Louis dan Zélie bersukacita atas kelahiran putera sulung, Marie Joseph Louis, pada tanggal 20 September 1866. Sayang, usianya belum genap lima bulan ketika bayi Joseph meninggal dunia, meninggalkan orangtuanya dalam keadaan amat berduka. Zélie menggencarkan doa memohon seorang putera melalui novena kepada St Yosef; novena ini berakhir pada Hari Raya St Yosef. Tepat sembilan bulan kemudian, 19 Desember 1867, Marie Joseph John Baptiste dilahirkan. Bayi ini lemah, sehingga Zélie tak kunjung henti berdoa agar puteranya diijinkan tinggal di dunia. Namun Tuhan berkehendak lain, delapan bulan kemudian harus Zélie berserah pada kenyataan bahwa Tuhan menghendaki John bagi Diri-Nya.
Pada tanggal 28 April 1869, lahir bagi mereka Marie Céline. Sementara itu, Hélène seorang gadis kecil yang manis dan memikat hati, sekonyong-konyong jatuh sakit parah dan meninggal dunia dalam usia lima tahun. Zélie mengenang peristiwa duka itu, “Aku merasa amat kehilangan atas kematian dua putera kecilku, tetapi aku terlebih lagi menderita kehilangan anak ini.”
Meski Zélie tak putus harapan untuk melahirkan seorang putera, tetapi anaknya yang kedelapan adalah seorang puteri, Marie Mélanie Thérèse, yang hanya bertahan hidup dua bulan. Pada tanggal 2 Januari 1873, lahirlah si bungsu Marie Francoise Thérèse yang sekarang kita kenal sebagai St Theresia dari Kanak-kanak Yesus.
Zélie amat bahagia atas kelahiran anak-anaknya dan berduka atas kepergian mereka saat masih bayi. Ia menulis, “Ketika aku menutup mata anak-anakku terkasih dan menguburkan mereka, aku merasakan dukacita yang mendalam, namun selalu duka dalam penyerahan diri. Aku tidak menyesali sakit dan kasihku bagi mereka. Sebagian orang mengatakan kepadaku, `Adalah lebih baik jika anak-anak itu tidak pernah dilahirkan,' tetapi aku tak dapat tahan akan perkataan macam ini. Aku pikir bahwa penderitaan dan dukacita tak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan abadi anak-anakku. Mereka tidak hilang untuk selamanya; hidup ini singkat dan penuh penderitaan, dan kita akan bertemu kembali dengan mereka kelak di sana.”
Setiap pagi Louis dan Zélie ikut ambil bagian dalam Misa. Mereka berdua menyambut Komuni Kudus beberapa kali dalam seminggu; sesuatu yang tak lazim pada masa itu. Sepulang gereja, Luois pergi bekerja mengurus bisnis jam dan perhiasan sementara Zélie mulai bekerja mengurus bisnis renda di rumah dengan limabelas pekerja. Ia juga berkecimpung dalam penanaman modal dan meluangkan waktu membaca bulletin bursa efek. Sejalan dengan mengurus bisnis, Zélie mengurus rumah tangga, merawat anak-anak, menulis surat secara rutin kepada kedua puterinya yang tinggal di asrama sekolah mengenai apa-apa yang terjadi di rumah. Ia membuat kue, mengadakan permainan, mengatur pesta dan tamasya bagi keluarga. Ia selalu mempunyai waktu untuk masing-masing anak sebanyak yang mereka butuhkan. Mendidik puteri-puterinya sungguh menguras energi, sebab ia menginginkan hanya yang terbaik bagi mereka masing-masing … menjadi jiwa-jiwa yang kudus!
Anak-anak belajar berdoa sejak usia dini. Zélie selalu memberikan perhatian pada pakaian yang mereka kenakan dan meski sangat mengasihi mereka, ia tidak pernah mau mentolerir tingkah laku yang tidak pantas, kata-kata yang sembarang diucapkan, rewel dalam menyantap makanan yang disajikan atau kesombongan apapun bentuknya. Ia menanamkan kemurahan hati dan semangat kurban bagi yang lain, mengalah agar supaya mendapatkan mutiara-mutiara bagi mahkota mereka. Anak-anak yang telah meninggal dunia dianggap bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan seturut kesaksian hidup orangtuanya, anak-anak diajar untuk memandang surga sebagai rumah mereka yang sesungguhnya.
Pada bulan April 1865, Zélie menulis kepada saudaranya, Isidore Guérin, “Kau tahu bahwa ketika aku masih kecil, dadaku tertumbuk pojok meja. Masalah itu tidak diperhatikan, tetapi sekarang aku mengalami pembengkakan kelenjar di dada, yang membuatku khawatir, teristimewa sejak mulai terasa sakit.” Kendati demikian, masalah sakit ini kemudian tidak disebut-sebut lagi hingga sebelas tahun kemudian, di mana keadaannya sudah fatal.
Pada bulan Oktober 1876, dokter menjatuhkan vonis tumor fibrous kepada Zélie. Tak ada operasi maupun obat-obatan yang dapat memberinya harapan sembuh. Malam hari sakit terasa paling hebat dan tubuhnya mati rasa sebelah, membuatnya sulit memejamkan mata. Tetapi, iman Zélie tak tergoyahkan, “Hanya sedikit saja alasan bagiku untuk bergembira menyambut waktu mendatang, tetapi aku seperti kanak-kanak yang tak khawatir akan hari esok; aku selalu berharap akan kebahagiaan!” Louis amat berduka ketika mengetahui isterinya sakit parah tak tersembuhkan. Ia tak lagi pergi memancing, melainkan senantiasa setia mendampingi isterinya. Dalam sakitnya, Zélie tetap setia ikut ambil bagian dalam Misa meski ia nyaris sepanjang waktu harus mengerahkan tenaga menahan sakit agar tak berteriak kesakitan. “Jika Tuhan berkehendak menyembuhkanku, aku akan sangat senang, sebab jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin hidup; sungguh menyedihkan hatiku meninggalkan suami dan anak-anakku. Tetapi sebagian yang lain dari diriku berkata: jika aku tidak disembuhkan, itu karena mungkin lebih baik jika aku pergi.”
Setelah kunjungan ke Lourdes mohon kesembuhan yang tampaknya sia-sia, Zélie menulis, “Jika Santa Perawan Maria tak menyembuhkanku, berarti waktuku telah tiba dan bahwa Allah menghendakiku mendapatkan istirahatku di tempat selain dunia.” Sepuluh hari kemudian Zélie kehilangan suaranya, kedua kakinya membengkak dan kondisinya melemah. Sakramen Pengurapan orang sakit diterimakan kepadanya dan dua hari kemudian, pada tanggal 28 Agustus 1877, Zélie Martin pulang ke rumah Bapa.
Pada tahun 1957 proses beatifikasi Louis dan Zélie Martin diajukan bersama. Pada tanggal 26 Maret 1994 Louis dan Zélie Martin dimaklumkan sebagai Venerabilis oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada tanggal 19 Oktober 2008, Hari Minggu Misi Sedunia, Louis dan Zélie Martin dibeatifikasi di Basilika St.Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Lisieux, Perancis.
Suami isteri kudus ini di kanonisasi bersama oleh Paus Fransiskus pada tanggal 18 Oktober 2015. Pesta pasangan ini juga dirayakan bersama pada tanggal 12 Juli, tanggal ulang tahun perkawinan mereka.
Nama Azélie berasal dari bahasa Ibrani yang berarti : Bunga