Para Martir dari China adalah para pahlawan Kristiani yang gugur demi iman mereka di China dari pertengahan abad ke-17 Masehi hingga tahun 1930. Terdapat 87 umat Katolik berkebangsaan China dan 33 orang misionaris Barat. Banyak dari mereka yang meninggal di tangan para “Pemberontak Boxer” yang membunuh sekitar 30.000 orang; yaitu para orang asing (barat), para misionaris, dan umat Katolik berkebangsaan China. Mereka dinyatakan Kudus oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1 Oktober 2000 dan Pesta para martir China ini dirayakan oleh Gereja setiap tanggal 9 Juli.
Abad ke-17 dan 18 Masehi
Pada tanggal 15 Januari 1648, Bangsa Tatar Manchuria menginvasi Fujian. Bangsa Manchu saat itu sangat membenci agama Kristen. Mereka menangkap lalu membunuh Santo Fransiskus Ferdinand de Capillas (Francisco Fernández de Capillas), seorang misionaris Dominikan yang berusia 40 tahun. Setelah memenjarakan dan menyiksa beliau, mereka memenggalnya sewaktu Pastor de Capillas sedang mendaraskan Doa Rosario. Tahta Suci Vatican memaklumkan beliau sebagai “protomartir” (martir paling pertama yang meninggal pada suatu negara) di China.
Sesudah gelombang pertama aktivitas misionaris di China saat akhir Dinasti Ming hingga awal Dinasti Qing, pemerintah Qing secara resmi melarang Agama Katolik (demikian pula dengan Protestanisme dikarenakan hubungannya dengan Katolik) pada tahun 1724, dan menggolongkannya sebagai 'sekte-sekte jahat dan doktrin-doktrin mengancam' dalam agama tradisional China.
Namun agama Katolik masih terus bertahan dan berkembang di wilayah-wilayah yang berada di luar kontrol pemerintah (terutama Sichuan), dan banyak umat Kristen berkebangsaan China yang melarikan diri ke kota-kota pelabuhan di Guangdong atau terus menuju wilayah asia tenggara seperti ke Indonesia. Justru banyak karya terjemahan Kristen yang dihasilkan pada periode ini, dan juga banyak misionaris pemberani secara sembunyi-sembunyi berkarya memasuki wilayah terlarang. Mereka menghindari kapal-kapal patroli China di sungai-sungai dan wilayah pantai, meskipun beberapa tertangkap dan dihukum mati.
Menuju pertengahan abad ke-18, lima misionaris Dominikan dari Spanyol yang berkarya antara tahun 1715 - 1747, dihukum mati sebagai dampak dilakukannya gelombang baru pemeriksaan yang dimulai pada 1729 dan kembali muncul pada 1746. Peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Yongzheng dan putranya, Kaisar Qianlong. Lima Martir Kristus ini adalah :
Keempat martir di bawah ini dibunuh pada tanggal 28 October 1748:
Kemartiran di awal Abad ke-19
Meskipun agama Katolik telah diakui oleh beberapa kaisar pada abad-abad sebelumnya, Kaisar Jiaqing (1796-1821) malah mengeluarkan beberapa dekrit yang menentang keberadaan Gereja di China. Dekrit pertama dikeluarkan pada 1805. Dua dekrit tahun 1811 ditujukan pada warga China yang belajar imamat untuk ditahbiskan, dan para Pastor yang menyebarkan agama Kristen. Dekrit tahun 1813 menyatakan pengampunan kepada semua umat Kristen yang secara spontan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan iman Katholik mereka, tetapi akan menghukum semua yang menolak untuk meninggalkan iman mereka.
Berikut ini adalah para martir yang terbunuh selama periode tersebut.
Pada tahun yang sama, terdapat dua dekrit yang memberi kekuasaan bagi Raja Muda di Sichuan untuk memenggal Uskup Dufresse, MEP (dari Paris Foreign Missions Society), dan beberapa warga China Kristen. Akibatnya terjadilah pemeriksaan (dan pembunuhan) yang semakin parah. Para martir yang terbunuh pada masa ini adalah:
Para Martir dari MaoKou dan Guizhou
Tiga orang katekis, dikenal sebagai Para Martir dari MaoKao (pada Provinsi Guizhou), dibunuh pada tanggal 28 Januari 1858 oleh perintah Mandarin (pejabat pemerintah) MaoKao:
Ketiganya telah dipanggil dan dipaksa meninggalkan agamanya. Setelah menolak, ketiganya dipenggal.
Di Guizhou, dua seminaris dan dua umat awam (seorang petani dan seorang janda yang bekerja sebagai koki di seminari), menjadi martir pada tanggal 29 Juli 1861. Mereka dikenal sebagai Para Martir dari Qingyanzhen (Guizhou):
Pada tahun berikutnya, pada tanggal 18 dan 19 Februari 1862, lima orang menjadi martir dan dikenal sebagai Para Martir dari Guizhou.
Perkembangan sosial dan politik di China pada Abad ke-19
Selama masa ini, beberapa kejadian politik sangat mempengaruhi kehidupan umat Kristen di China.
Bulan Juni 1840, komisaris kerajaan di Guangdong berkeinginan menghapuskan perdagangan opium yang dilakukan oleh Inggris; ia menyuruh membuang sebanyak 20.000 peti peti candu ke laut. Hal tersebut memicu perang yang dimenangkan oleh Inggris. Setelah perang berakhir, China terpaksan menandatangani perjanjian modern pertama mereka di tahun 1842, diikuti perjanjian oleh Perancis dan Amerika Serikat. Perancis mengambil kesempatan untuk mengambil alih Portugis sebagai kekuatan pelindung para misionaris di China. Dua dekrit dikeluarkan: dekrit pertama di tahun 1844 menyatakan bahwa masyarakat China diizinkan memeluk agama Katolik; dekrit kedua di tahun 1846 yang menghapuskan keputusan kuno tentang Katolik dan mengembalikan properti yang diambil alih di tahun 1724.[4] Perjanjian tahun 1844 juga menyebutkan bahwa para misionaris diperbolehkan untuk datang ke China, tetapi hanya pada beberapa kota pelabuhan yang dibuka untuk bangsa Eropa; ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum untuk mengeksekusi Augustus Chapdelaine (disebutkan di atas).
Pada pertengahan abad ke-19 terjadi perang saudara di China yang dikenal sebagai Pemberontakan Taiping, yang dipicu oleh seorang umat Kristen sesat dari Guangdong yang bernama Hong Xiuqian. Ia mengklaim bahwa ia menerima misi khusus dari Tuhan untuk memerangi kejahatan dan menjadi gerbang bagi periode perdamaian. Hong dan para pengikutnya sukses mengambil alih wilayah yang luas, mereka menghancurkan kuil-kuil Buddhis dan Taois, serta melawan agama tradisional masyarakat. Perang tersebut kira-kira menelan 20-30 juta korban jiwa sehingga menjadikannya konflik paling berdarah kedua dalam sejarah manusia (setelah Perang Dunia II). Setelah pemberontakan dihancurkan, kerusakan yang ditinggalkan menyebabkan kekristenan memperoleh nama buruk karena asosiasinya dengan pemberontakan. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap para misionaris.
Hal lain yang memicu adalah meningkatnya hubungan antara aktivitas misionaris dengan imperialisme barat, termasuk aktivitas imperialis Perancis di China yang mengatasnamakan perlindungan mereka atas misi para misionaris.
Setelah kemartiran St.Agustinus Chapedelaine (disebutkan di atas pada tahun 1856, Perancis merespon dengan mengirimkan sebuah ekspedisi militer. Ekspedisi tersebut berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Tianjin pada tahun 1860 yang memberikan kebebasan kepada para misionaris Katolik untuk mengelilingi China serta membeli tanah (hak tersebut juga diberikan kepada umat Protestan). Setelah itu, Gereja dapat hidup secara terbuka dan melaksanakan aktivitas misionarisnya, bahkan membuka sekolah-sekolah tinggi, universitas, dan penelitian ilmiah. Gereja semakin berakar dalam tradisi budaya China serta dalam hubungannya dengan pemerintah, terutama juga karena berbagai aktivitas kemanusiaan mereka yang bernilai tinggi.
Namun, para misionaris memprovokasi masyarakat China dengan membangun gereja-gereja atau sekolah di atas bekas kuil-kuil kuno atau di dekat kantor pemerintahan. Mereka juga menghapuskan institusi katolik pribumi yang selamat dari pelarangan pemerintah. Terkadang dalam kotbah juga ditegaskan bahwa mereka akan dilindungi dari masyarakat sekitar (yaitu dari tekanan dan kemarahan keluarga serta teman), dan bagaimana cara mereka melakukan pemisahan menyebabkan timbulnya rumor-rumor buruk diantara masyarakat setempat mengenai apa yang sebenarnya dilakukan umat Kristen. Rumor semacam itu juga menimpa sebuah rumah yatim piatu di Tianjin yang mengakibatkan pembunuhan 60 orang pada tahun 1870. Namun kolonialis Barat justru memanfaatkan tindakan pengrusakan dan pembunuhan tersebut (yang dilakukan oleh gerombolan maupun dinas rahasia) sebagai dalih untuk memeras keuntungan finansial dan ekonomi.
Aliran-aliran Protestan yang lebih tertutup diperlakukan dengan lebih baik oleh pihak-pihak yang berwenang.
Para kaum terpelajar serta keluarga terhormat di China, dalam gerakan bahwa tanah, menyebarkan pamflet yang menyerang iman Kristen sebagai pemahaman yang tidak rasional. Surat-surat edaran untuk pembakaran properti juga disebarkan ke kerumunan penduduk dan diperkirakan sebagai pemicu kekerasan terhadap umat Kristen. Bahkan terkadang tidak diperlukan edaran semacam itu untuk memprovokasi masyarakat menyerang umat Kristen. Misalnya peristiwa pada masyarakat Hakka yang tinggal di wilayah tenggara, para misionaris Kristen seringkali mencemooh kebiasaan penduduk yang berhubungan dengan agama setempat, termasuk diantaranya menolak mengambil bagian dalam sembahyang bersama untuk memohon hujan (karena para misonaris juga diuntungkan oleh hujan, mereka dipaksa juga untuk memngambil bagian dalam ritual) serta menolak menyumbangkan dana untuk mengadakan pementasan opera bagi para dewata China (para dewa yang dihormati dalam opera tersebut adalah dewa-dewa yang sama dengan yang dipuja para "Pemberontak Boxer" dalam pemberontakan yang terjadi berikutnya).
Misi Katolik menawarkan perlindungan kepada siapapun yang datang kepada mereka, termasuk para kriminal, pelanggar hukum, dan pemberontak terhadap pemerintah; hal tersebut meningkatkan kebencian pemerintah terhadap misi pengembangan agama.
Pemberontakan Boxer
Masa berkembangannya kekristenan di China sekali lagi mengalami hambatan oleh munculnya "Serikat Pendekar Keadilan dan Harmoni" (I Ho Ch'uan) yang lebih dikenal sebagai "Pendekar" atau Boxer. Gerakan Boxer muncul pada awal abad ke-20, didukung oleh para mandarin (pejabat kekaisaran) dan ibu Kaisar Kwang-hsue dan menyebabkan pertumpahan darah begitu banyak umat kristen. Llima uskup, 28 imam praja dan biarawan, dua bruder, sembilan suster, dan 30.000 umat awam. Diantara mereka banyak yang dinyatakan kudus. Pemberontakan ini dipicu oleh kebencian yang menumpuk kepada para orang asing selama dekade terakhir abad ke-19, akibat perubahan politik serta sosial pasca Perang Candu dan perjanjian-perjanjian tidak adil yang menguntungkan bangsa barat.
Namun, motif yang melatari pembunuhan para misonaris sangat berbeda, meskipun mereka juga berkebangsaan barat. Motif yang melatari adalah motif keagamaan; yang juga melatari pembunuhan terhadap umat awam berkebangsaan China. Dokumen sejarah yang bisa dipercaya menunjukkan bukti adanya kebencian terhadap umat Kristen. Sebuah dekrit dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1900 yang menyatakan bahwa era hubungan baik dengan para misionaris Eropa dan umat kristen telah berakhir: bahwa para misionaris harus dipulangkan saat itu juga dan umat Katolik dipaksa untuk ingkar, atau akan dibunuh. Beberapa kelompok kejadian pembunuhan yang terjadi ditunjukkan seperti di bawah ini.
a) Para Martir Shanxi, dibunuh tanggal 9 Juli 1900 (dikenal sebagai Pembantaian Taiyuan), merupakan para missionaris Fransiskan :
b) Para Martir di Hunan Selatan, juga merupakan misionaris Fransiskan :
Selain itu terdapat juga tujuh suster Franciscan Missionaries of Mary (tiga berkebangsaan Perancis, dua Italia, satu Belgia, dan satu Belanda):
Para martir Sekular (awam) dari Ordo Franciscan, semua berkebangsaan China:
Berikut ini adalah para martir dari kalangan umat awam :
Gerakan Boxer dimulai di Shandong dan menyebar ke Shanxi dan Hunan, menuju Tcheli Tenggara (sekarang Hebei). Di Tcheli terdapat Apostolic Vicariate of Xianxian, dibawah naungan Ordo Jesuit, umat kristen yang terbunuh mencapai ribuan. Diantaranya adalah empat misionaris Yesuit berkebangsaan Perancis dan setidaknya 52 umat awam kristen pribumi; pria, wanita, dan anak-anak – yang tertua berusia 79 tahun dan termuda sembilan tahun. Semuanya menjadi martir pada bulan Juli 1900; sebagian terbunuh di dalam gereja di Desa Tchou-Kia-ho (atau Zhujiahe) yang menjadi tempat perlindungan. Saat itu mereka sedang berdoa bersama dua misionaris pertama pada daftar di bawah ini:
Nama-nama beserta usia para umat awam kristen yang menjadi martir adalah sebagai berikut:
Selain para korban pemberontakan Boxer tersebut, juga terdapat :
Beberapa tahun kemudian, dua martir dari Komunitas Salesian Don Bosco ditambahkan dalam daftar nama martir di China. Keduanya terbunuh tanggal 25 Februari 1930 di Li-Thau-Tseul.
Diplomat, penduduk, tentara asing, serta beberapa Tionghoa Kristen melarikan diri ke Legation Quarter dan tinggal selama 55 hari hingga Aliansi Delapan Negara datang dengan 20.000 tentara untuk memadamkan pemberontakan. Setelah kegagalan pemberontakan, pemerintah China menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali melakukan modernisasi, yang akhirnya mengembangkan agama Katolik di China pada tahun-tahun berikutnya. Masyarakat China mulai menaruh hormat kepada para Kristen karena pembangunan sekolah-sekolah serta rumah sakit. Namun, pengasosiasian imperialisme barat dengan usaha misionaris tetap memicu kebencian terhadap misi kekristenan di China.
Semua misi tersebut akhirnya dilarang oleh penguasa komunis yang baru setelah berakhirnya perang Korea di tahun 1950. Hingga saat ini kehidupan misi dan umat Kristiani di China dapat tetap bertahan meskipun dianggap melanggar hukum.